Rahmat Allah
Diberikan kesempatan untuk hadir
di majelis yang mulia ini adalah sebuah kurnia yang wajib disyukuri. Setidaknya
nikmat iman dan kesehatan sekaligus kita rengkuh pada Jumat siang ini. Karena
tidak sedikit saudara kita yang gagal menerima keduanya sekaligus. Ada yang
memiliki hasrat dan keinginan kuat untuk berangkat shalat jumat, tapi ternyata
terhalang kesehatan. Demikian juga kaum muslimin diberikan kesehatan, namun
tanpa keimanan sehingga tidak berkenan menghadiri panggilan shalat Jumat. Oleh
sebab itu mari dua nikmat tersebut kita syukuri dengan meningkatkan takwallah
yakni menjalankan perintah dan menjauhi yang dilarang Allah SWT.
قُلْ
يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن
رَّحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ
الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
Artinya: Katakanlah hai hamba-hamba-Ku yang
malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari
rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya
Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Alkisah. Dahulu pernah ada
seorang ahli ibadah (abid) yang tinggal seorang diri di sebuah gunung paling
tinggi di dunia. Begitu tingginya gunung itu, sehingga aku (Jibril) sering
melaluinya ketika hendak turun dari langit melaksanakan titah dari Yang Maha
Kuasa. Gunung itu tidak begitu luas, tetapi cukup lengkap persediaan bahan
makanan dan buah-buahan, juga air terjun yang menyegarkan. Hal itu mempermudah
abid menjaga perut dari kekosongan dan memudahkannya berwudhu sehingga selalu
dalam keadaan suci.
Di atas gunung yang sangat indah itu, abid hidup selama
lima ratus tahun. Ia tidak punya kegiatan, selain beribadah, bermunajat,
berdoa, dan tidak pernah terlintas di benaknya untuk berbuat dosa dan
mendurhakai-Nya. Salah satu doa yang dikabulkan Allah adalah permohonannya
setiap saat untuk mati dalam keadaan sujud. Demikianlah, akhirnya abid
meninggal dunia dalam usia lima ratus tahun.
Setelah kematiannya Allah berfirman kepadanya: Wahai
hamba, karena rahmat-Ku, kau akan segera Aku masukkan ke dalam surga.
Mendengar pernyataan tersebut si abid berubah mukanya, terkesan tidak terima.
Karena ia merasa bahwa amal dan ibadahnya selama lima ratus tahun tanpa dosa
yang menyebabkan layak masuk ke surga. Demikian
protes abid, maka segeralah Allah menugaskan seorang malaikat untuk menghitung
dan menimbang seluruh amal dan ibadahnya selama lima ratus tahun tanpa dosa
yang diandalkannya sebagai modal meraih surga. Kemudian ditimbangnya amal
tersebut dengan rahmat pemberian-Nya. Ternyata rahmat Allah yang diberikan
kepada abid yang terdapat dalam penglihatan mata saja, jauh lebih berat
nilainya dibandingkan dengan ibadahnya selama lima ratus tahun. Belum nikmat
anggota badan yang lain, otak, kaki, tangan, dan seterusnya. Maka sesuai dengan
protes yang diajukannya, Allah pun memerintahkan malaikat untuk menyeret si
abid ke dalam neraka. Karena nilai amal dan ibadahnya jauh lebih ringan dari
pada rahmat yang terdapat pada mata.
Ketika itulah si abid baru sadar
ternyata kebergantungannya pada amal tidak dapat menyelamatkannya. Segera ia
meminta ampunan dan mengakui akan segala kesalahan dan kesombongannya. Ia
terlalu mengandalkan amal ibadahnya dan mengabaikan rahmat Allah swt. Untung
saja Allah mengampuninya dan sekali lagi menanyakan kepada si abid: Apakah
engkau masuk surga ini karena amalmu? Si abid menjawab: Tidak
ya Allah Tuhanku, sungguh ini semua karena rahmat-Mu.
Cerita di atas membuktikan
betapa hidup manusia sangat tergantung pada rahmat Allah SWT sebagai pengatur
alam jagad raya. Dia-lah yang menentukan semuanya. Ia berhak melakukan apapun
kepada makhluk. Sebagai Sang Pencipta, sebagai Sang Maha Kuasa, Dia bebas
menyiksa dan mengganjar siapa saja yang Ia mau. Tidak ada yang dapat membatasi
gerak-Nya. Ketundukan atau kedurhakaan kita kepada-Nya tidaklah mampu menggeser
kekuasaannya walau sedikit pun. Oleh karena itulah hidup semua makhluk ini
sungguh-sungguh tergantung pada rahmat Allah swt.
Contoh lain adalah beratus-ratus
kitab karya Al-Ghazali, bertahun-tahun ibadahnya, tetapi rahmat-Nya malah
terdapat di tinta pada ujung penanya? Bukankah secara logika ratusan karya itu
lebih bernilai? Tidak demikian. Rahmat-Nya tidak dapat dikalkulasi, diprediksi
dan diperinci, karena rahmat itu adalah hak prerogatif Allah swt.
Oleh karena itulah tidak
dibenarkan bagi kita untuk menilai rendah sebuah amal ibadah. Maka perbanyaklah
amal shalih. Walaupun itu sekadar menghindarkan duri dari tengah jalan. Karena
bisa saja amal itu yang dirahmati Allah. Kita tidak boleh meremehkan amal walau
sekecil apapun siapa tahu itulah yang akan menyelamatkan kita di akhirat
nanti.
Akhirul kalam, bahwasanya manusia tidak boleh
berputus asa untuk terus memburu rahmat Allah, karena sesungguhnya rahmat itu
amat luasnya. Hanya kebanyakan manusia tidak memahami hikmah di balik itu semua.
Komentar
Posting Komentar