Ilmu Seharusnya Membantumu Rendah Hati

Di tengah laju zaman yang semakin cepat dan dunia yang semakin keras menilai segala sesuatu berdasarkan pencapaian, tidak jarang kita melihat ilmu berubah fungsi. Ia yang semula seharusnya menjadi jalan menuju kebijaksanaan dan pemahaman justru tergelincir menjadi alat pembuktian status, pelampiasan ego, bahkan pembenaran untuk merendahkan yang lain.

Ilmu, dalam makna yang sejati, tidak pernah diturunkan untuk meninggikan manusia di hadapan sesamanya. Ia justru dititipkan agar manusia belajar melihat lebih luas, lebih dalam, dan lebih jujur akan posisinya di dunia. Bahwa sebesar dan setinggi apapun pengetahuan yang kita miliki, kita tetap makhluk yang terbatas—yang memahami hanya sebagian kecil dari kebenaran yang besar.

Namun hari ini, kita menghadapi fenomena yang menyedihkan: orang yang baru tahu sedikit merasa berhak menggurui; yang baru membaca satu dua buku merasa paling paham; yang baru menempuh sedikit pendidikan merasa sudah layak menghakimi. Ilmu tidak lagi merendahkan hati, tapi justru mengangkat kepala terlalu tinggi hingga lupa menapak bumi.

Padahal, inti dari proses belajar adalah menyadari bahwa kita belum selesai. Bahwa semakin banyak kita belajar, semakin banyak pula yang kita sadari belum kita ketahui. Inilah yang seharusnya menjadi pangkal dari kerendahan hati: kesadaran bahwa ilmu bukan milik kita, tapi titipan yang harus dijaga, dirawat, dan dimanfaatkan untuk memberi manfaat, bukan untuk meninggikan diri.

Orang yang benar-benar berilmu akan tampak dari sikapnya, bukan dari seberapa sering ia berbicara. Ia lebih banyak mendengar daripada berdebat, lebih suka membimbing daripada menghakimi. Ia tidak haus pengakuan, karena yang ia kejar bukan pengakuan manusia, melainkan kebermanfaatan ilmu yang ia bawa. Semakin tinggi ilmunya, semakin dalam pula akarnya menjejak ke tanah: tidak goyah oleh pujian, dan tidak terangkat oleh kesombongan.

Sebaliknya, mereka yang menjadikan ilmu sebagai senjata untuk membungkam, sebagai perisai untuk menolak kritik, atau sebagai panggung untuk mengangkat nama pribadi, sedang menunjukkan bahwa sesungguhnya ia belum benar-benar belajar. Karena ilmu sejati bukan hanya soal apa yang kita ketahui, tetapi bagaimana pengetahuan itu membentuk diri kita menjadi pribadi yang lebih bijak, lebih manusiawi, dan lebih sadar diri.

Maka, pertanyaan penting yang perlu kita renungkan hari ini adalah:
Apakah ilmu yang kita pelajari membuat kita lebih rendah hati, atau justru lebih tinggi hati?
Apakah pengetahuan kita melahirkan kebijaksanaan, atau sekadar menjadi alat pembenaran?
Apakah proses belajar membuat kita lebih dekat kepada nilai-nilai kemanusiaan, atau justru menjauh darinya?



Penutup

Ilmu yang tidak dibarengi dengan kerendahan hati hanya akan melahirkan kesombongan yang dibungkus rapi. Ia mungkin tampak cerdas dari luar, tetapi rapuh dari dalam. Karena tanpa sikap yang benar, ilmu hanya akan menjadi beban—baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain.

Mari kita kembali pada hakikat ilmu: sebagai jalan menuju pengenalan diri, pemahaman terhadap dunia, dan kedekatan pada kebaikan. Dan setiap kali kita merasa "lebih tahu", semoga itu menjadi alasan untuk lebih banyak mendengar, bukan lebih banyak bicara; lebih banyak memberi, bukan lebih banyak menuntut.

Salam edukasi☺️

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Percaya Diri, Bukan Sombong

Syukur Sabar Ikhlas

Memahami Takdir dengan Bijak