Hindari Ujub

 


Rasulullah saw bercerita tentang dua orang bersaudara dari kalangan Bani Israil dengan sifat yang sangat kontras: yang satu sering berbuat dosa, sementara yang lain sangat rajin beribadah. Rupanya si ahli ibadah yang selalu menyaksikan saudaranya itu melakukan dosa tidak betah untuk tidak menegur. Teguran  pertama pun terlontar, namun tidak memberikan efek apa pun, perbuatan dosa tetap berlanjut. Dan sekali lagi tak luput dari pantauan si ahli ibadah, “Berhentilah!” Sergahnya untuk kedua kali. Si pendosa lantas berucap: "Tinggalkan aku bersama Tuhanku. Apakah kau diutus untuk mengawasiku?"Mungkin karena sangat kesal, lisan saudara yang rajin beribadah itu tiba-tiba mengeluarkan semacam kecaman: Demi Allah, Allah tidak akan mengampunimu. Allah tidak akan memasukkanmu ke surga.

Kisah ini terekam sangat jelas dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan Abu Dawud dan Ahmad. Di bagian akhir, hadits tersebut memaparkan, tatkala masing-masing meninggal dunia, keduanya pun dikumpulkan di hadapan Allah swt.

Kepada yang tekun beribadah, Allah mengatakan: "Apakah kau telah mengetahui tentang-Ku? Apakah kau sudah memiliki kemampuan atas apa yang ada dalam genggaman-Ku?" Drama keduanya pun berlanjut dengan akhir yang mengejutkan. "Pergi dan masuklah ke surga dengan rahmat-Ku," kata Allah kepada si pendosa. Sementara kepada ahli ibadah, Allah mengatakan: "(Wahai malaikat) giringlah ia menuju neraka."

Cerita tersebut mengungkapkan fakta yang menarik dan beberapa pelajaran bagi kita semua. Ahli ibadah yang sering kita artikan sebagai ahli surga ternyata kasus dalam hadits itu justru sebaliknya. Sementara hamba lain yang terlihat sering melakukan dosa justru mendapat kenikmatan surga. Mengapa bisa demikian? Karena nasib kehidupan akhirat sepenuhnya menjadi hak prerogatif Allah swt.

Jika diamati, ahli ibadah dalam kisah hadits di atas, terjerumus ke jurang neraka lantaran melakukan sejumlah kesalahan. Pertama, ia lancang mengambil hak Allah dengan menghakimi bahwa saudaranya tidak mendapat ampunan Allah dan tidak akan masuk surga. Mungkin ia berangkat dari niat baik, yakni hasrat memperbaiki perilaku saudaranya yang sering berbuat dosa. Namun ia ceroboh dengan bersikap selayak Tuhan, yakni menuding orang lain salah sembari memastikan balasan neraka yang bakal diterimanya.

Jadi, tugas kita kepada mereka adalah mengajak, bukan menghakimi/memvonis 

 اُدْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ

Artinya: Serulah ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana, peringatan yang baik, dan bantulah mereka dengan yang lebih baik. Sungguh Tuhanmulah yang mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya. Dan Dia Maha mengetahui orang-orang yang mendapat hidayah. (An-Nahl [16]: 125). 

Kesalahan kedua yang dilakukan ahli ibadah dalam kisah tersebut adalah ia terlena terhadap prestasi ibadah yang diraih. Hal itu dibuktikan dengan kesibukannya untuk mengawasi dan menilai perilaku orang lain ketimbang dirinya sendiri. Dalam tingkat yang lebih parah, sikap macam ini dapat membawa seseorang pada salah satu akhlak tercela bernama tajassus, yakni gemar mencari-cari keburukan orang lain. Apalagi, bila orang yang menjadi sasaran belum tentu benar-benar berbuat salah. Seringkali lantaran kesalahpahaman dan perkara teknis, sebuah perbuatan secara sekilas pandang tampak salah padahal tidak. Di sinilah pentingnya tabayun atau klarifikasi dalam ajaran Islam.

Tentu saja memperbanyak ibadah dan meyakini kebenaran adalah hal yang utama. Tapi menjadi keliru, tatkala sikap tersebut dihinggapi 'ujub. Ujub adalah sifat membanggakan diri dan meremehkan orang lain. Ujub merupakan penyakit hati yang cukup kronis. Ia bersembunyi di balik kelebihan-kelebihan diri, kemudian pelan-pelan mengotorinya. Bisa saja seseorang selamat dari perbuatan dosa tapi ia kemudian terjerumus ke dalam jurang yang lebih dalam, yakni ujub.  Amal ibadah yang melimpah, apalagi disertai pujian dan penghormatan dari masyarakat sekitar, sering membuat orang lupa lalu dengan mudah menganggap remeh orang lain. Orang-orang semacam ini umumnya terjebak dengan penampilan luar, yakni menilai sesuatu hanya dari yang tampak secara kasat mata. Padahal, bisa saja orang yang disangkanya buruk, di mata Allah justru lebih mulia karena lebih banyak memiliki kebaikan.

Menghindari perbuatan dosa memang hal yang amat penting, tapi yang lebih penting adalah               menghindari sifat ujub atau bangga diri. Jadi, “Perbuatan dosa yang membuatmu menyesal, jauh lebih baik ketimbang beribadah yang disertai rasa ujub atau bangga diri .”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al Ghazali, Empat Golongan

Jangan Sombong

Hadapi...