Amal Setelah Ramadan
Pada saat ini kita semua patut bersyukur bahwa
bulan suci Ramadhan baru saja kita lalui bersama dengan baik. Ini berarti kita
semua telah lulus ujian, yakni berhasil menjalankan ibadah puasa selama sebulan
penuh sesuai dengan ketentuan syari’at.
Sekarang juga, kita patut bergembira karena di
samping telah berhasil menambah pundi-pundi pahala, juga dosa-dosa kita
diampuni oleh Allah subhanahu wata’ala. Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda dalam sebuah hadits:
مَنْ
صَامَ
رَمَضَانَ
إِيمَانًا
وَاحْتِسَابًا
غُفِرَ
لَهُ
مَا
تَقَدَّمَ
مِنْ
ذَنْبِهِ
Artinya, “Barangsiapa berpuasa Ramadhan karena iman
dan mengharap pahala, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”
Dari hadits tersebut lahirlah makna Idul Fitri yang
dalam konteks Indonesia tidak hanya secara bahasa bermakna Hari Raya setelah
berakhirnya Ramadhan, atau yang dalam Kamus Al-Maany dimaknai sebagai اَليَوْمُ
اْلأوَّلُ
الَّذِي
يَبْدَأُ
بِهِ
الإفْطَارُ
لِلصَّائِمِيْنَ
(hari pertama bagi orang-orang yang berpuasa Ramadhan mulai kembali berbuka
[dengan makan dan minum seperti di hari-hari biasa]), tetapi juga secara
konseptual bermakna “kembali suci” seperti ketika kita baru terlahir ke dunia.
Makna secara konseptual tersebut, yakni “kembali
suci”, secara budaya telah diterima umat Islam Indonesia dari generasi ke
generasi dengan merujuk pada maksud hadits di atas. Setidaknya hal ini
merupakan doa kita semua kepada Allah dan semoga dikabulkan. Amin.
Namun demikian perlu ada ketegasan bahwa yang
dimaksud “kembali suci” dalam konteks ini adalah terbebas dari dosa-dosa kepada
Allah subhanahu wata’ala saja karena hanya menyangkut hablum minallah.
Sedangkan “kembali suci” dari dosa-dosa kepada
manusia tidak otomatis terjadi karena hal ini menyangkut hablum minannas. Semua
persoalan yang terkait dengan sesama manusia harus diselesaikan sendiri antar
sesama manusia.
Oleh karena itu, kita akan benar-benar mencapai
Idul fitri dalam arti “kembali suci” seperti ketika baru terlahir ke dunia
apabila urusan dosa-dosa dengan sesama manusia bisa kita selesaikan dengan
berakhirnya Ramadhan.
Tentu saja lebih baik urusan dosa dengan sesama
manusia bisa kita selesaikan sesegera mungkin tanpa menunggu berakhirnya
Ramadhan. Jadi maksudnya, jangan sampai hingga datangnya bulan Syawal ini kita
masih memiliki dosa-dosa dengan sesama manusia yang belum terselesaikan.
Jika itu terjadi, maka sudah pasti dosa-dosa kepada
sesama manusia tersebut akan menghalangi kembalinya kita kepada “fitrah” atau
“suci”. Hal inilah yang kemudian melahirkan tradisi saling bermaaf-maafan di
antara umat Islam yang di Indonesia dikenal dengan Halal bi halal.
Tradisi ini tentu saja baik karena dapat
memperbaiki hubungan antar sesama manusia yang kadang-kadang memang sulit
terhindar dari konflik, ketegangan dan bahkan permusuhan.
Datangnya Idul Fitri membawa kita semua kembali
pada kesucian sebagaimana telah diuraikan di atas. Lalu, bagaimanakah kita
menyikapi hari-hari setelah kita kembali pada keadaan suci ini? Setidaknya ada
dua jawaban sebagai berikut:
Pertama, kita hendaknya meneruskan kebaikan yang sudah
dicapai selama Ramadhan. Dalam kaitan ini Syekh Muhammad ibn ‘Umar Nawawi
al-Bantani mengingatkan salah satu dari kesepuluh amaliah sunnah Ramadhan dalam
kitabnya berjudul Nihâyah al-Zain fî Irsyâd al-Mubtadi’in, yakni istiqamah
dalam menjalankan amaliah Ramadhan dan melanjutkan amaliah-amaliah tersebut di
bulan-bulan berikutnya. Jika kita bisa melanjutkan amaliah-amaliah sunnah di
bulan Ramadhan seperti menahan lisan dan anggota badan lainnya dari
perkara-perkara yang tak berguna, terlebih perkara-perkara haram, memperbanyak
sedekah, memperbanyak i'tikaf, membaca Al-Quran, dan sebagainya, maka itu
berarti kita melakukan upaya peningkatan kualitas ruhani kita.
Peningkatan semacam itu sejalan dengan makna kata
“Syawal” (شَوَّالُ)
yang secara etimologis berasal dari kata “Syala” (شَالَ)
yang berarti “irtafaá”
(اِرْتَفَعَ)
yang dalam bahasa Indonesia berarti “meningkatkan”. Mungkin
saja kita tidak bisa melakukan persis sama dengan apa yang kita lakukan selama
Ramadhan dalam rangka peningkatan amal karena berbagai alasan seperti kesibukan
menjalankan tugas sehari-hari dan sebagainya. Tetapi setidaknya ada ikhtiar
kita untuk melestarikan ibadah-ibadah seperti itu, misalnya dengan menjauhi
maksiat, dan sebagainya. Ramadhan memang dimaksudkan sebagai bulan tarbiyah
atau bulan pendidikan di mana umat Islam digembleng selama sebulan penuh agar
menjadi orang-orang yang bertakwa kepada Allah swt.
Kedua, menjaga agar kita tidak mengalami kebangkrutan
amal yang telah kita raih baik sebelum dan selama Ramadhan dengan cara tidak
menzalimi orang lain. Dalam hal ini Rasulullah shallahu alaihi wa sallam
menjelaskan tentang kebangkrutan amal sebagaimana diriwayatkan dari Abu
Hurairah dalam sebuah berikut ini: “أَتَدْرُوْنَ
مَا
الْمُفْلِسُ؟”
Artinya,
“Tahukah kalian siapakahorang yang mengalami kebangkrutan amal? Tanya
Rasulullah kepada para sahabat. Mereka menjawab:قَالُوْا: اَلْمُفْلِسُ
فِيْنَا
مَنْ
لاَ
دِرْهَمَ
لَهُ
وَلاَ
مَتَاعَ Artinya, “Para sahabat menjawab : Orang bangkrut
menurut pendapat kami ialah mereka yang tiada mempunyai uang dan tiada pula
mempunyai harta benda. “Maka Nabi menjawab”:
“إِنَّ
الْمُفْلِسَ
مِنْ
أُمَّتِي،
يَأْتِي
يَوْمَ
الْقِيَامَةِ
بِصَلاَةٍ
وَصِيَامٍ
وَزَكَاةٍ،
وَيَأْتِي
قَدْ
شَتَمَ
هٰذَا،
وَقَذَفَ
هٰذَا،
وَأَكَلَ
مَالَ
هٰذَا،
وَسَفَكَ
دَمَ
هٰذَا،
وَضَرَبَ
هٰذَا.
فَيُعْطِى
هٰذَا
مِنْ
حَسَنَاتِهِ
وَهٰذَا
مِنٰ
حَسَنَاتِهِ.
فَإِنْ
فَنِيَتْ
حَسَنَاتُهُ،
قَبْلَ
أَنْ
يَقْضَى
مَا
عَلَيْهِ،
أُخِذَ
مِنْ
خَطَايَاهُمْ
فَطُرِحَتْ
عَلَيْهِ.
ثُمَّ
طُرِحَ
فِي
النَّارِ”
Artinya, “Sesungguhnya orang bangkrut dari umatku
ialah mereka yang pada hari kiamat membawa amal kebaikan dari shalat, puasa,
dan zakat. Tetapi mereka dahulu pernah mencaci maki orang lain, menuduh (dan
mencemarkan nama baik) orang lain, memakan harta orang lain, menumpahkan darah
orang lain dan memukul orang lain. Maka kepada orang yang mereka salahi itu
diberikan pahala amal baik mereka; dan kepada orang yang lain lagi diberikan
pula amal baik mereka. Apabila amal baik mereka telah habis sebelum utangnya
lunas, maka diambillah kesalahan orang yang disalahi itu dan diberikan kepada
mereka; Sesudah itu, mereka yang suka mencaci, menuduh, memakan harta orang
lain, menumpahkan darah orang lain, dan memukul orang lain itu, akan
dilemparkan ke dalam neraka.”
Hadits tersebut hendaklah dapat kita hayati bersama
karena memberikan kesadaran kepada kita betapa pentingnya menghindari perbuatan
mendzalimi sesama manusia. Alasannya adalah kedzaliman-kedzaliman seperti itu
dapat membuat kita bangkrut secara agama, yakni habisnya amal-amal kebaikan
kita yang telah kita kumpulkan dengan susah payah selama bertahun-tahun, bahkan
selama hidup kita.
Untuk itu, apabila kita sayang pada diri sendiri,
maka jagalah agar amal-amal baik kita bisa kita rawat dengan sebaik-baiknya
sehingga tidak musnah sia-sia, dengan cara kita harus bisa mengendalikan diri
kita sehingga orang lain selamat dari perbuatan mendzalimi orang lain seperti:
menyakiti hati, menghujat dan memaki, memfitnah dan menuduh tanpa bukti,
mengambil hak seperti mencuri dan korupsi, membunuh, menyakiti secara fisik,
dan sebagainya.
Mudah-mudahan apa yang khatib sampaikan tadi
terkait dengan apa yang harus kita lakukan setelah Ramadhan, dapat bermanfaat
bagi kita semua, dan khususnya bagi khatib pribadi. Mudah-mudahan pula kita
semua senantiasa mendapat petunjuk dari Allah subhanahu wata’ala sehingga
hal-hal jelek seperti yang tadi khatib kemukakan benar-benar dapat kita hindari
bersama, dan akhirnya kita semua kelak diterima di sisi Allah subhanahu
wata’ala dan ditempatkan di surga bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam dan orang saleh lainnya. Amin… Amin ya Rabbal 'alamin.
Komentar
Posting Komentar